Time Frame

Secangkir Kertas
21 min readSep 2, 2020

--

Waktu adalah sebuah gambar. Ketika kita berdiri pada pukul 19.39.03 (atau mungkin lebih kecil dari itu), kita menjadi sebuah gambar yang unik. Ketika jarum jam yang panjang bergerak satu langkah ke depan, dunia sudah memotret sebuah gambar yang lain. Gambar-gambar sudah semuanya tercipta dengan sempurna. Kita semua bergerak beriringan pada jaman yang berbeda. Di masa lalu, ada aku yang masih terjatuh ketika belajar naik sepeda. Di masa sekarang ada aku yang sedang mengetik tuts-tuts di depan sebuah layar kecil. Di masa depan ada aku yang mungkin sedang duduk santai menikmati uang yang sudah susah payah kudapatkan.

Mungkin aku satu dari sedikit orang yang masih percaya. Sebuah prinsip dasar untuk sebuah sakratul perjalanan waktu yang entah kapan akan berhenti menjadi misteri. Aku bukan bagian yang tertarik untuk ikut terjebak dalam penelitian, tetapi aku orang yang gemar menikmati kepercayaan semu itu.

“Ayo cepat siap-siapnya! Taksinya sudah datang, kita harus segera ke bandara sekarang!” kataku kepada anak-anak yang masih sibuk dengan tas backpackingnya.

Mereka berdua lalu segera asal memasukkan semua barangnya ke dalam tas, dan segera menutupnya dalam keadaan yang masih agak berantakan.

Kali ini libur anak sekolah agak panjang, sekitar dua bulan. Untuk pertama kalinya, kami tidak menuju ke gunung ataupun membuat tenda di hutan. Kami justru ingin menghabiskan waktu berkelana ke negeri yang kami belum pernah jajaki sebelumnya, dengan cara kami sendiri. Dengan hanya berbekal beberapa lembar pakaian dan celana saja, dan uang seadanya, kami akan menghabiskan waktu sekitar dua minggu di sana.

Kami semua harus duduk di dalam sebuah burung besi selama belasan jam. Untungnya, usia Aldi masih sembilan tahun. Ia masih dalam batas umur untuk ditawarkan sebuah mainan oleh seorang pramugari yang mondar-mandir di dekat kursi kami. Ajaibnya, mainan itu bagaikan sebuah alat guna-guna, yang mampu membungkam mulut Aldi, setidaknya selama ¾ perjalanan.

Sara? Adik Aldi? Tentu saja ia sedikit rewel, karena ini baru pertama kalinya ia naik pesawat. Tetapi beberapa lama berada di atas udara, ia pun akhirnya tertidur pulas di balik penutup mata dan penutup telinga Doraemonnya.

Delapan belas jam sudah berlalu sejak kami menempelkan pantat kami pada sebuah kursi pesawat. Perjalanan panjang, dengan waktu yang abstrak. Kami melewati tujuh zona waktu. Entah pukul berapa matahari terbit, entah pukul berapa matahari terbenam, hanya Sang Penguasa Bumi yang tahu.

Akhirnya, burung besi itu menurunkan roda-rodanya tepat pada saat kami kehabisan kegiatan. Ia mendarat dengan mulusnya pada sebuah tanah datar yang menjadi tempatnya beristirahat. ‘London Heathrow Airport’ begitu yang pertama kali terbaca.

Anak-anak terbangun, aku terbangun, dan suamiku pun terbangun dari tidur yang entah lelap entah tidak. Tetapi yang jelas, badan kami cukup pegal-pegal dan kaku-kaku.

Terbiasa berada pada lingkungan yang panas hujan panas hujan sepanjang tahun, musim dingin menjadi seperti alien, sesuatu yang asing bagi kami. Terbiasa hanya mengenakan celana pendek dan sendal jepit, tubuh kami kali ini harus dilindungi berlapis-lapis pakaian dan beralaskan sepatu.

Untungnya, kami cepat menemukan sebuah taksi hitam kebanggaan Inggris yang sedang mengetem santai di depan bandara.

Hi Sir, we would like to go to this hotel,” kataku sambil menunjukkan secarik kertas bertuliskan nama hotel beserta alamatnya.

Yes, madam,” jawab supir taksi tersebut.

Berbagai perasaan campur aduk sedang berperang di dalam otakku, dan mungkin otak keluargaku yang lain. Namun semua perasaan itu didominasi rasa kantuk yang seharusnya sudah menjadi waktu tidur kami di Jakarta, sebuah kota metropolitan.

Belum ada lima menit, tiba-tiba aku mendengar suara supir taksi yang sangat keras sampai cukup mengagetkanku, “Madam, madam, we’ve arrived. Madam, we’re here!

Oh sorry, I’m very sleepy, I couldn’t bear to stay awake, how much does it cost?

It’s 51 pounds Madam. Let me help you bring out all your bacpacks.”

“Oh OK, thank you,

Kami masuk ke sebuah hotel tua di London. Cukup megah, tetapi suasananya sedikit remang-remang dan mengerikan. Sebagai seorang backpacker, ini makananku dan keluargaku setiap kali kami menjelajah tempat yang baru. Justru ini lebih nyaman bagi kami, daripada yang biasanya hanya tidur di dalam tenda di tengah hutan, yang kami tidak akan pernah tahu siapa saja yang sudah pernah mengamati kami tidur. Mengerikan tidak pernah menjadi masalah bagi kami, yang penting murah.

I’ve reserved the cheapest room in this hotel by phone for the next fourteen days, under the name of Karen Winata,” kataku kepada mas resepsionis berambut pirang.

Oh, yes! We’ve prepared the room for you. I’ve warned you in advanced that some people are missing inside the room. So, we are not responsible if the similar incident happened. You can change your mind to move to other room with the higher price if you want,” katanya.

I don’t believe with things like that. Also, only some, right? Not everyone?

“Yes actually. But, that’s the same sentences as the previous missing guest said. Here is your key, and this guy will bring you to your room,” katanya.

Kami menuju ke kamar hotel kami. Lantai 20, 2052.

Pertama kali masuk, kami cukup terkagum dengan isi ruangan. Hotel ini cukup mewah dengan harga yang ditawarkan. Perabotannya cukup usang, tetapi cukup terawat dengan baik. Kamarnya luas, dengan juga terdapat ruang tengah, dan dua kamar tidur.

Seperti biasa, tanganku cukup usil. Ketika aku memasuki sebuah kamar hotel, aku pasti memeriksa seluruh lacinya, sementara yang lain rebahan dan membereskan barang bawaannya. Sebagai seorang yang cukup ahli dalam bidang survival, aku perlu tahu apa saja fasilitas yang disediakan hotel ini, agar aku bisa menggunakan semuanya secara maksimal.

Satu per satu laci kubuka. Mulai dari ruang tamu, laci di kamar tempat tidur anak-anak, sampai di kamar tidurku dan suamiku. Semuanya normal-normal saja, seperti selayaknya hotel. Hairdryer, teh celup, kopi bubuk, dan lain sebagainya.

Hanya satu yang menarik perhatianku, yaitu sebuah buku di dalam laci, pada kamarku dan suamiku. Bagian depannya hanya tertulis Diary. Tetapi begitu aku memerhatikan sedikit lebih jeli, buku ini tampak sudah sangat usang. Kertasnya yang sudah kuning dan hampir lepas tak lagi dapat berbohong tentang usianya yang sudah tua.

Waktu itu pukul 06.12. Aku membuka buku itu perlahan-lahan, agar aku tidak merusak isinya. Kubuka halaman pertama, ini yang tertulis:

December 5th, 1952.

I know this going to happen. The smog has come out. I have to fast. I’ve already targeted several young men. I’ll kill the guy with the initial ‘PW’ first. THAT PERSON will be the last. That’s the plan. I’ll write the fun part maybe later if I have time.

Apakah ini adalah sebuah buku harian dari seorang pembunuh pada tahun 1952? Karena rasa penasaranku yang tinggi, lalu aku membalikkan halaman pertamanya. Seketika, sebuah tongkat besar dan berat jatuh menimpa kepalaku. Saat itu juga, aku terjatuh, lalu pingsan.

Gelap.

Takut.

Baru kali ini aku merasakan bahaya di dalam hidupku.

Akhirnya mataku kembali terbuka. Anehnya, bukan mata suamiku atau Aldi atau Sara yang pertama kali kulihat, melainkan sebuah langit-langit ruangan. Aku terbangun pada keadaan tempat yang sama. Yang berbeda hanya satu, yaitu keluargaku dan semua barang-barangku yang tiba-tiba hilang.

Aku mulai bingung dengan apa yang terjadi. Ini semua terjadi setelah aku membuka catatan harian dari pembunuh itu. Apa yang sebenarnya sedang terjadi?

Aku terlibat dalam kepanikan yang luar biasa. Untuk pertama kalinya kemampuan survivalku tidak berguna untuk menyelamatkanku.

Aku takut.

Aku cemas.

Lalu, aku kembali membuka catatan harian itu kembali, dengan harapan bahwa tongkat itu tiba-tiba memukulku dan membawaku kembali kepada kehidupan yang sebenarnya. Aku membolak-balikkan halaman pertama dan halaman kedua. Tetapi, tentu saja, tongkat itu tidak lagi menimpa kepalaku. Justru aku malah menemukan beberapa kalimat yang aku yakin sebelumnya tidak ada di sana.

‘You have read my story, then you HAVE TO be involved.
Help me and you will live here forever.
Stop me and you will be back to your place.
Failed and you will be dead,
like the other 37.
Are you the next to die?
-M1-’

Siapa yang dimaksud dengan ‘aku’? Siapakah M1? Apakah pembunuh yang menulis catatan harian ini? Pemikiranku semakin tidak karuan. Tetapi, aku harus segera menghentikkannya dan segera kembali ke duniaku yang sebenarnya. Tidak ada cara lain. Tidak ada gunanya jika aku berteriak-teriak minta tolong, malah akan memakan waktu karena aku pasti akan diinterogasi karena dianggap sebagai orang gila.

Aku merogoh kantong celanaku, untuk mencari handphoneku. Oh iya, aku baru ingat, aku sudah meletakkannya di meja sesaat tiba di hotel ini. Sekarang semuanya hilang. Aku hanya menemukan sebuah pisau lipat, sebuah alat survival, yang selalu kubawa kemana-mana setiap kali berpergian. Malah, ada satu barang yang muncul tiba-tiba. Aku ingat betul bahwa kantong celana depanku kosong waktu itu. Dan sekarang, sudah ada sebuah kertas yang entah diselipkan oleh siapa ketika aku sedang pingsan.

’11. 59pm, December 9th is your limitation.
-M1-’

Aku menutup buku harian itu, dan bergegas menuju resepsionis untuk menanyakan hari, tanggal, tahun, dan jam hari ini. Sesampainya di meja resepsionis, aku melihat orang-orang berperawakan aneh. Baju-bajunya sangat kuno, mereka menghisap cerutu yang sudah cukup mahal jika dibeli di masa sekarang. Potongan rambutnya pun juga tidak wajar.

Di meja resepsionis, aku menemukan sebuah kalender yang terlihat masih berwarna putih, yang bertuliskan ‘December 1952’. Bagaimana mungkin sebuah kalender dari 68 tahun yang lalu masih dipajang di sini dan juga masih terlihat bagus.

Hi Sir, may I know what is the date, month, and year today? And also, the exact time, kataku.

Hi madam, today is December 5th, 1952. And the time, as you can see to the clock behind me, it’s 6.16am. Are you okay madam?” jawabnya dengan logat britishnya yang sangat kental.

“Yes, yes I am okay. Anyway, can you tell me the way to any nearby police station?”

“Oh yes, the nearest one is Scotland Yard. You should go to the right, but it’s a bit far from here if you want to go by foot. However, you can take bus or tube. In front of this hotel is a bus station, and next to this hotel is a tube station. If you want to go outside, it’s better to wear anything to cover your nose. The smog is quite bad today. Is there anymore I can help?”

“No, thank you for the information.”

Dari hasil percakapan singkatku dengan resepsionis hotel, aku yakin bahwa aku berada di tahun 1952. Aku yakin bahwa yang dimaksud dengan M1 adalah pembunuh itu, sebab mungkin M adalah singakatan dari murderer. Hanya aku tak terlalu paham apa yang dimaksud dengan angka satu. Berarti, waktuku hanya tersisa lima hari, atau aku akan mati di sini.

Aku meraih bandana yang terikat di leherku, lalu kupasang untuk menutup mulut dan hidungku. Benar, hari ini asap sangat tebal, lebih tebal dari biasanya, bahkan lebih tebal dari aku yang biasanya hidup di Jakarta dengan tingkat kepadatan, kemacetan, dan polusi udara yang sangat tinggi. Mungkin ini seperti sebuah bencana sebab televisi pun dari tadi menyiarkan tentang asap tebal ini yang entah dari mana asalnya.

Aku takut dengan asap. Tetapi aku lebih takut tidak akan dapat kembali ke tempatku berasal. Lalu aku berpikir tentang bagaimana cara menangkap penjahat ini. Aku bukan polisi, suamiku bukan polisi, ayah dan ibuku bukan polisi. Aku tak punya darah mengalir di tubuhku sebagai seorang yang dapat mengincar pembunuh. Tetapi, diluar itu semua, aku memiliki sebuah motivasi untuk bertemu kembali dengan suamiku, Aldi, dan Sara.

Ketika jalan dirasa buntu, aku melihat sebuah tayangan TV yang tergantung di lobby hotel, begini katanya: ‘A man, named Philip White, found dead in the Library Street. A murderer was seen and suspected as a man. Everyone in London is required to stay inside the building until the smog vanish. However, if someone see a suspicious man, please call 999 with the nearest public telephone kiosk.’

Philip White, Philip White, Philip White.

Aku merasa sangat familiar.

Aku kembali membuka buku harian yang sebelumnya tersimpan di kantongku, dan Voila! ‘I’ll kill the guy with the initial ‘PW’ first.’

Aku yakin ini perbuatan orang itu, yang menamai dirinya sebagai M1. Philip White pasti PW. Karena kasus ini sudah mulai terendus oleh polisi, sepertinya aku harus mendapatkan kepercayaan mereka untuk bisa membantu menyelesaikan pembunuhan ini.

Hotel subuh ini sangat ramai. Mereka semua sepertinya mengungsi dari asap tebal yang mungkin bisa membunuh mereka. Dengan hanya bertamengkan selembar kain bandana yang selalu kubawa kemana-mana, aku memberanikan diri keluar dari hotel.

Aku datang ke Scotland Yard, kantor polisi, dengan sebuah senjata di tangan, yaitu buku catatan harian yang kutemukan di dalam hotel. Aku berharap mereka memercayainya. Kalau tidak, tamatlah sudah riwayatku.

Kami berbincang lumayan panjang. Dengan kemampuan bahasa inggrisku yang hanya pas-pasan, terkadang aku harus mengucapkannya dengan bantuan bahasa tubuhku. Tak jarang pula, polisi di hadapanku harus berkali-kali mengungkapkan kalimatnya yang sama.

Aku menunjukkan bahwa aku membawa bukti yang sangat penting, yaitu sebuah buku harian pembunuh itu. Mereka cukup terheran-heran melihatnya. Mereka membaca isinya, tetapi tulisan itu berhenti hanya sampai di halaman pertama. Aku bingung, jelas-jelas di halaman kedua ada sebuah tulisan yang tertanda ditulis oleh seorang yang mengaku dirinya sebagai M1. Bagaimana mungkin mereka tidak membacanya?

Awalnya, polisi tidak percaya kepadaku dan malah menganggapku gila. Apalagi dengan tambahan tulisan di halaman kedua itu. Tetapi aku yakin, aku mungkin adalah seorang yang mengetahui sesuatu hal lebih banyak tentang pembunuh itu yang seakan berbicara denganku. Aku sedikit memaksa kepada polisi untuk bergabung dengan tim mereka sebagai volunteer. Akhirnya, mereka mengijinkanku, walaupun hanya satu hari saja, sampai hari ini selesai. Mereka mulai menjelaskan kronologinya dari awal sampai akhir. Ia menjelaskan bahwa ada dua orang pembunuh, sebab pembunuh yang adalah seorang laki-laki meninggalkan pesan kepada para polisi untuk berhati-hati terhadap partnernya.

Mungkin itu sebabnya ia menamai dirinya sebagai M1. Berarti, aku harus mencari siapa M2, termasuk jejak dimana M1 berada sekarang.

Laporan demi laporan mulai masuk. Dua pembunuhan lain yang dilakukan oleh M1 kembali terciduk oleh polisi. Lagi-lagi ia meninggalkan pesan yang sama pada sebuah tempat kejadian perkara, untuk berhati-hati terhadap temannya. Tetapi, sepanjang aku menyusuri kota London, 5 Desember 1952, tidak ada sedikitpun berita tentang pembunuh kedua yang masih berkeliaran. Tentu saja, M1 masih akan berniat membunuh lagi.

Aku pun akhirnya ikut berkeliling bersama para polisi London yang menurutku sangat keren. Ia mengenakan topi polisi klasik berwarna hitam, yang berukuran agak tinggi dan berbentuk setengah oval. Jasnya berwarna hitam, sangat kontras dengan tubuhnya yang kebanyakan berwarna putih. Seperti layaknya orang Inggris lainnya, logatnya yang membuatku semakin meleleh. Sulit didengar, tetapi terdengar gagah.

Kami menghampiri lokasi pembunuhan pertama, tempat Philip White dibunuh. Tubuhnya sudah dibawa untuk diautopsi. Di sana hanya tersisa beberapa tempelan selotip yang membentuk tubuh manusia. Aku bisa membayangkan tubuhnya yang kecil. Mungkin hanya sedikit lebih tinggi dariku yang hanya setinggi 165cm.

Sulit melihat apa yang terjadi. Aku hanya bisa mengandalkan sebuah senter yang kupinjam dari polisi. Asap pekat menutupi seluruh Kota London sepanjang hari ini. Jarak pandang mungkin hanya beberapa puluh sentimeter saja.

Dengan pengelihatan yang jelas rabun tertutup asap, aku tak menemukan apapun. Aku hanya melihat ceceran darah di jalanan. Aku memang sering berburu hewan, tetapi mungkin ini kali pertama aku melihat darah sebanyak ini. Pembunuh ini benar-benar berdarah dingin. Ia sepertinya menusuk secara membabi buta.

Kami lalu menuju lokasi pembunuhan kedua dan ketiga. Tubuhnya pun sudah semuanya tidak ada. Hanya ada sisa selotip yang membentuk tubuh manusia yang tersisa, termasuk ceceran darah yang sama banyaknya.

Aku buntu.

Aku kira aku pasti dapat menyelesaikannya dengan mudah hari ini.

Aku kira aku akan dapat menemukan jejak M1, atau setidaknya mendapatkan informasi sedikit tentang M2.

Tetapi hari ini, aku bahkan sama sekali tidak mendapatkan petunjuk apapun. Aku menjadi tidak yakin bahwa aku dapat menyelesaikannya dalam sisa empat hari.

Tanpa terasa, hari sudah gelap, lebih cepat dari biasanya. Lalu aku kembali ke hotel dari Scotland Yard. Sambil mandi, aku mulai menganalisis tentang apa yang sebenarnya terjadi kepadaku, tentang mengapa aku bisa terlempar ke tahun 1952. Aku pun mulai menganalisis tentang apa yang sebenarnya terjadi di negara ini. Mengapa aku melakukannya sambil mandi? Katanya, kita sering tiba-tiba terpikir sebuah ide ketika kita sedang berada di kamar mandi. Entah buang air besar, entah buang air kecil, ataupun saat sedang mandi.

Tetapi, pemikiranku tidak membuahkan hasil yang baik.

Lagi-lagi aku buntu.

Di kamar mandi pun aku buntu.

Tidak ada petunjuk, sama sekali.

Aku hampir menyerah.

Sepertinya aku benar-benar harus melihat mayat-mayat itu besok, dan mungkin akan mendapatkan informasi dari sana. Aku akan bangun sangat pagi, mungkin pukul 5 pagi, lalu bergegas menuju rumah sakit tempat jenazah-jenazah itu dibaringkan. Semoga besok asap tebal sudah sedikit membaik, sehingga pergerakan kami lebih cepat. Entah mengapa, semua hal buruk terjadi berbarengan hari ini.

Pagi hari aku bangun. Aneh rasanya, bangun tanpa ada suamiku di sebelahku. Apa ya yang sedang dipikirkannya? Apakah dia sudah melaporkanku kepada polisi, karena aku hilang selama hampir 24 jam? Apa kabar ya dia di hari ini, 68 tahun ke depan?

Aku membuka gorden hotel. Pukul 5 pagi, musim dingin, tentu saja London saat itu masih gelap. Apakah dia akan terang hari ini? Kita tunggu saja nanti. Semoga asap tebal yang kemarin menghiasi pemandangan kota London dan bertengkar dengan awan, hari ini segera kalah dan pergi menjauh.

Aku berharap hari ini dapat menemukan sebuah petunjuk besar, karena petunjuk yang kami miliki hanya satu, yaitu bahwa pelakunya adalah seorang laki-laki.

Tiba-tiba sebuah pertanyaan melontar di benakku ketika aku sedang asik-asiknya mandi pagi hari. Aku tiba-tiba teringat tentang tulisan pada buku harian pembunuh itu. ‘I’ve already targetted several young men’. Mengapa laki-laki muda? Apakah ini adalah petunjuk mengenai motif pembunuhan? Dan lagi, siapa yang dimaksud dengan ’THAT PERSON’ dan mengapa ia menulisnya dengan huruf kapital? Apakah itu perasaan marah? Atau apa?

Selesai keluar dari kamar mandi, aku berjalan kaki menuju Scotland Yard, walaupun asap memang masih cukup tebal, menutupi bulan yang sedang terang-terangnya. Aku bertemu dengan kepala polisi yang menangani kasus ini, Sean Smith. Beruntung, baru saja aku masuk, lalu aku berpapasan dengannya.

Mr. Smith, Mr. Smith!”

“You again? I thought your business with us has already done yesterday.”

“No, please listen to me. I tried to do analysis last night. I was thinking of the murderer’s diary, which said ‘I’ve already targetted several young men’. I wondered that it could be the motive. Moreover, the words ‘THAT PERSON’ feel like the killer is so much angry. This M1 highlighted it by writing in capital, as that person has done something bad to the murderer.”

“So, what does that mean? What is M1? And what do you really want?”

“Oh, I mean the murderer, I just give a nickname for myself. As a woman, I don’t know but it feels like the murderer is not a man, but a woman. And maybe the ‘that person’ might be her husband, or her ex, or her father, or someone with special relationship with her.”

“It’s just a guess, right? My people have already seen that he is definitely a man based on his…… clothes.”

Mr. Smith tiba-tiba terdiam. Ia mulai menyadari sesuatu yang benar dari ucapanku.

“You might be right! The murderer could just use suit, bowtie, and trousers to make us think that he is a man, but instead, he is a woman!”

Dengan petunjukku yang semakin lama semakin menarik, akhirnya Mr. Smith memerbolehkanku untuk menjadi sukarelawan. Aku mendapat izin khusus untuk dapat melakukan penelitian lebih dalam lagi untuk kasus ini, setidaknya sampai tanggal 9 Desember, atau saat batasan waktuku habis.

Mula-mula, aku meminta agar aku bisa melihat semua tubuh jenazah yang diletakkan di rumah sakit. Asap masih tebal saat itu, terang pun masih malu-malu sejak kemarin, padahal waktu sudah hampir menunjukkan pukul 11 siang. Tetapi, aku akan tetap menuju rumah sakit, untuk menyelamatkan diriku, sebelum menjadi korban yang terakhir.

Sesampainya di sana, tiga tubuh pria muda, dijejerkan. Semuanya mungkin seumuranku, sekitar 32 sampai 34 tahun. Wajahnya putih tampan dengan rambut blondenya. Tubuhnya kekar, seperti sudah sangat terlatih.

So, based on the autopsy, they are all died immediately, after several times stabbed by a kitchen knife. The killer did it carelessly. He most probably is an unexperienced murderer,” kata dokter yang mengautopsi tubuh mereka.

Oh wow, it seems like he is very good at avoiding polices, like everything has already been planned really well. He even uses this smog to make our move slower and to hide the victims, as his advantage. But he isn’t an experienced murderer? This is very interesting,” kata polisi itu.

Dari laporan dokter, aku semakin yakin bahwa pelakunya adalah seorang wanita. Aku tinggal mencari bukti-bukti yang mungkin tertinggal di suatu tempat, yang mungkin pernah dilewati oleh pelaku.

“Anyway, about the second murderer, do you have any information about that?” tanyaku.

That makes us curious. We still haven’t got any information about that. I’m now questioning about that person’s existence. Maybe we’re fooled with the false information,” katanya.

Aku yakin kami tidak sedang dibohongi. Pasti benar-benar ada M2, karena ia menamai dirinya sebagai M1. Satupun informasi belum kudapatkan tentang M2 ini. Harus mulai dari mana? Apakah aku harus melupakannya dan berfokus tentang M1?

Tidak terasa waktu makan malam sudah hampir tiba. Waktu berjalan sangat cepat hari ini, ketika kami berjam-jam sudah berada di dalam rumah sakit. Selama itu, ada lagi dua pembunuhan yang ketahuan diduga dilakukan oleh M1, karena pembunuhan dilakukan dengan cara yang kurang lebih mirip. Ia benar-benar gila. Bagaimana cara menghentikkannya?

Setidaknya kusudahi dulu hari ini. Aku cukup mendapatkan banyak petunjuk. Tinggal bagaimana merapikannya, sebelum kucari petunjuk yang lain esok hari. Ah! Mengapa sih satu hari berlangsung dengan sangat cepat!

Pada hari yang ketiga dan keempat, aku sudah mulai sedikit menyerah. Aku mulai kehabisan akal. Apakah aku harus mati saja di sini? Tugasku di hari ketiga dan keempat hanya mengunjungi tempat kejadian perkara saja, karena tidak ada lagi tempat yang terpikir olehku.

Langit masih gelap ditutup asap. Dari berita di televisi dan orang yang berbincang, orang London sudah biasa menyebutnya dengan ‘Great Smog of London’. Korban jiwa akibat asap sudah mencapai sekitar sepuluh ribu. Beruntung aku tidak terbunuh oleh asap ini. Tetapi beruntung juga pembunuh itu tidak terbunuh oleh asap ini. Sampai hari ini, korban jiwa yang diakibatkan oleh pembunuh itu sudah mencapai sepuluh. Mungkin juga ada yang tidak diketahui, karena tercampur dengan korban jiwa akibat asap. Suasana sangat suram. Ini terasa seperti Film Purge, dimana siapapun dapat membunuh siapa saja tanpa khawatir dipenjara.

Semua tempat kejadian perkara pun sama saja. Tidak ada yang lebih spesial dari yang lainnya. Hanya ada selotip-selotip yang membentuk tubuh manusia, darah yang berceceran di sekelilingnya, dan sebuah kertas bertulisan ‘beware of the second murderer!’. Padahal aku berharap sesuatu yang lebih.

Hari kelima, tinggal beberapa jam lagi sampai waktunya habis. Tentu saja langit masih gelap, dengan asap tebal. Lebih parahnya lagi, aku tidak mendekati kata ‘hampir mengangkap M1’, dan bahkan tidak menemukan petunjuk tentang keberadaan M2.

Aku sudah tidak tahu lagi harus apa.

Mungkin aku akan menjadi orang yang ke 38. Apa kabar ya suamiku, Aldi, dan Sara? Apakah mereka baik-baik saja? Apakah mereka bisa hidup tanpaku? Aldi dan Sara masih kecil, masih 9 tahun dan 7 tahun. Bagaimana cara suamiku mengurus anak-anak sekecil itu sendirian? Aah! Aku benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa lagi.

Aku duduk di tempat tidur hotel, memandangi semua petunjuk yang pernah kudapatkan. Aku membaca kembali pesan-pesan yang ia tinggalkan di buku catatan hariannya. Lalu tiba-tiba, aku teringat tentang suatu hal. Kamar ini. Jika buku catatan harian itu ditemukan di kamar ini, apakah artinya M1 pernah berada di sini? Ataukah kamar ini dipesankan oleh M1 untukku atas namanya?

Aku bergegas berlari cepat menuju meja resepsionis. Lobi hotel masih terlihat ramai dengan orang-orang yang mengungsi di sini untuk menghindari asap. Banyak dari mereka yang wajahnya sama setiap hari, hanya lebih lusuh. Sepertinya, ada orang-orang yang sudah berhari-hari mengungsi di sini, menunggu sampai asap itu hilang.

Hi Sir. I’m the person who stay in the room 2052. I need to ask something important, yet kinda embarassing. I am going to meet a person that booked this room for me. But, since this person is my really old friend, I forgot the name. I would be so much embarassed if I don’t remember. Here’s my room key as a proof that I stay in 2052. So, may I know the name of the person that booked my room, please?

Oh yes! Let me check. Hm…, it’s Katie Mill. And I guess your name must be Karen Winata? Because Katie put the message that this room will be occupied by her friend, Karen.”

“Yes, I am Karen. Thank you for the information. I’m going to meet her now”

Katie Mill. Aku harus segera memberitahu Mr. Smith, sebelum pukul 12 malam. Tapi, bagaimana cara Katie mengetahui namaku? Apakah aku adalah temannya di dunia yang ini?

Aku berlari sekuat tenaga menuju Scotland Yard.

“Mr. Smith, please! Find this person, Katie Mill. I’m 90% sure that she is the murderer,” kataku kepada Mr. Smith, masih dengan napas terengah-engah.

“I’ll check through the server. But, how do you know?”

Aku menjelaskan kepadanya, tentang semuanya yang kira-kira kutahu.

Pencarian itu mengungkapkan fakta bahwa Katie Mill adalah seorang karyawan restoran pizza yang tinggal di dekat sini. Kami lalu bersama-sama segera menghampiri salah satu koleganya yang juga bekerja di restoran yang sama.

Menurut pernyataannya, Katie akhir-akhir ini bersikap aneh. Sejak ia baru ditinggal menikah oleh tunangannya, Katie berubah. Ia sempat berkali-kali ketahuan mencuri pisau dapur yang biasanya digunakan di restoran kami. Sebelum asap tebal ini mulai terlihat, sebuah pisau dapur juga hilang saat sedang kubereskan. Semua menduga bahwa memang dia yang mengambilnya. Ia juga sempat bertanya kepada beberapa orang tentang bagaimana caranya menggunakan pisau dapur dan sebagainya, karena ia hanya seorang pelayan. Semua pekerja restoran sangat takut bahwa ia akan melakukan sesuatu yang ekstrim.

Perbincangan itu ditutup dengan ucapan dari Mr. Smith, “She did.

Sudah pasti pelakunya adalah Katie Mill. Seorang pegawai restoran yang dendam terhadap mantan tunangannya. Kuyakin pula, pasti ‘that person’ yang dimaksud adalah tunangannya itu. Sesuai dugaanku, pelakunya adalah seorang wanita. Kami dari kemarin sudah dibohongi dan mendapatkan informasi yang salah.

Dengan sekedar sebuah nama, kami membuat sebuah rencana besar-besaran untuk menangkapnya. Asap sudah mulai sedikit lebih tipis, pandangan kami semakin jelas. Kami melacak mantan tunangannya itu agar para polisi dapat menjaganya. Kami memasang jebakan dengan meminta beberapa polisi untuk menjadi laki-laki muda di berbagai tempat.

Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Dua jam lagi sebelum waktuku tiba. Aku mungkin bisa menangkap Katie, tetapi aku tidak mungkin menangkap pelaku yang kedua dalam dua jam.

Tiba-tiba saja sebuah laporan masuk, aku dan Mr. Smith menuju lokasi yang dimaksud. Ia masih memberontak, sampai akhirnya aku meminta Mr. Smith untuk berbicara dengannya sebagai sesama perempuan. Katie kaget bukan main melihat kedatanganku. Entah apa yang dipikirkannya saat itu.

Kami sempat berbincang sebentar. Aku memintanya untuk segera menyerahkan diri ke polisi. Tetapi ternyata, negosiasi tidak berlangsung baik dengannya. Dengan pisau dapur di tangannya, ia mengarahkan pisau itu hampir mengenai tubuhku. Beruntung, karena aku sering sekali berburu, aku sering menghadapi binatang buas. Aku tahu gerak-gerik binatang buas yang akan menyerang, dan kemana arahnya. Wanita ini benar-benar seperti layaknya binatang buas. Tetapi beruntung, aku bisa membaca setiap yang dilakukannya.

Instingku sebagai seorang survival sedikit ambil peran di sini. Tanpa sadar, aku merogoh kantongku, dan aku merasakan sesuatu di kantong belakang celana. Saat aku masih meraba-raba, lagi-lagi Katie mengarahkan senjatanya kepadaku. Aku pun langsung menunduk dan menghindarinya, lalu mengambil pisau lipat dari kantong celana belakangku, dan membuka pisaunya yang paling besar. Aku menebas kakinya sampai ia kesulitan untuk berdiri. Saat itu juga, para polisi pun langsung meringkusnya.

Katie, aku, Mr. Smith, dan beberapa polisi lain segera menuju Scotland Yard, tempat dimana wanita ini akan diinterogasi dan dipenjara sementara, sebelum sidang dilaksanakan. Kami menggunakan mobil polisi inggris klasik berwarna hitam dengan sebuah sirene, untuk menuju ke kantor polisi.

Di tengah perjalanan, berkali-kali Katie berkata, “I am the one who should beware of my partner.

Entah apa maksudnya.

Sesampainya di Scotland Yard, kami semua turun dan masuk bersama-sama ke dalam kantor polisi. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Sudah tidak mungkin aku bisa menemukan M2 lagi. Aku sama sekali tidak punya petunjuk. M1 yang sudah ada petunjuk saja, aku menyelesaikannya dalam waktu 5 hari. Padahal petunjuk ada di tempat pertama kali aku berada.

Ketika aku menginjakkan kedua kakiku di dalam Scotland Yard, di dalam sebuah kepasrahanku, tiba-tiba sebuah tongkat lagi-lagi jatuh keras di atas kepalaku. Aku pingsan, dan semuanya menjadi gelap. Inikah surga? Inikah neraka? Apakah aku sudah mati? Apakah waktuku habis?

Anehnya, mataku masih mampu terbuka. Aku kembali berada di hotel tempatku menginap. Tetapi, saat itu tidak kosong. Ada suami dan anak-anakku yang memandangku. Suamiku memegang minyak wangi, dan Aldi memegang sebuah gelas kosong.

“Syukurlah sudah bangun. Kau tidak apa-apa?” tanya suamiku.

“Mama tadi tiba-tiba jatuh, lalu pingsan,” tambah Aldi.

“Oh, mama tidak apa-apa. Tidak perlu khawatir, semuanya baik-baik saja,” kataku sembari mengelap wajahku yang basah akibat disiram air oleh Aldi.

Ternyata aku tidak mati, aku kembali. Aku benar-benar menghentikkannya. Tapi bagaimana caranya? Kan aku belum menemukan M2? Ah aku tidak peduli, yang penting aku sudah kembali ke duniaku. Aku senang sekali!

Aku membuka laci tempatku menemukan buku harian itu, dan ia sudah tidak ada di sana.

‘Semua telah selesai,’ kataku dalam hati, ‘dan tidak akan ada lagi korban.’

Lalu aku bersandar di tempat tidur hotelku.

06.22, 5 Desember 2020 tertulis pada jam digital di samping tempat tidur.

Aku baru 10 menit berada di masa lalu? 5 hari sudah kulalui, dan baru 10 menit berlalu disini?

“Sayang, sudah berapa hari kita berada di sini?” kataku kepada suamiku.

“Loh? Kita baru saja sampai mungkin beberapa menit yang lalu kok. Lalu kau pingsan. Ada apa?”

“Ah, tidak apa-apa. Aku hanya penasaran berapa lama aku pingsan.”

Benar-benar tidak jelas.

Aku ingin sebentar beristirahat. Santai di tempat tidur yang sudah empat malam kugunakan ini 68 tahun yang lalu. Seingatku, tahun 1952, TVnya tidak sebesar ini, hanya sebuah TV tabung.

Aku menyalakan TV, melihat seperti apa saluran TV di London. Dengan remotnya, aku mengganti-ganti saluran, sampai mataku terpaku pada sebuah berita yang menayangkan kejadian masa lalu di televisi.

London’s Darkest History, episode 2: Murders in 1952 nearly unsolved,’ begitu judulnya.

Mataku terpaku pada layar itu. Dokumentasinya sama persis seperti apa yang kulihat di dalam pingsanku. Aku buru-buru menyelipkan rambutku di balik telinga, agar telingaku terbuka lebar. Dengan bahasa inggrisku yang terbatas, aku ingin mendengar semua yang disampaikan dalam berita itu.

This is one of the London’s darkest history. An incident called Great Smog of London was occurred for five days, from 5 December 1952 to 9 December 1952, causing death for more than ten thousand people. This smog was well-utilised by two murderers. One of them was caught in the last day of the smog. The motive was because she was dumped by her ex-spouse and was left to married with another woman. There were ten to fifteen young men victims according to the KM’s (murderer 1) information.

Here is our special interview with the head of the case, Sean Smith, “We couldn’t consider it as a success as we failed to find the second murderer. But, I don’t really think bad about that person, as there was no murder yet. Moreover, KM also wrote in his book during the interrogation (showing a book to the camera, with a sentence ‘I am betrayed by my partner, KW’). We suspected that KW is the second murderer. However, since there is no victim caused by that person, should we call that person as a murderer? I, then, preferred to close the case, until the person with initial KW appeared. And no one has appeared, until now. It was nearly ended up as the 19s Jack the Ripper case, but thanks to a tourist, for giving us some useful findings and insights.”

Berita ini cukup mengejutkanku. Apa yang dimaksud Katie dengan menuliskan ‘I am betrayed by my partner, KW’?

Aku berpikir cukup panjang, sambil mencoba mencari informasi di internet tentang Great Smog of London dan berita pembunuhan ini. Semua kurang lebih berkata sama dengan apa yang disampaikan di berita. Tentang bahwa Great Smog of London adalah salah satu kejadian terkelam di London, tentang satu dari dua pembunuh yang tertangkap, dan sebagainya.

“Sayang, mengapa kau begitu terpaku dengan berita itu?” kata suamiku yang ternyata dari tadi bersandar di tempat tidur yang sama denganku.

“Ah tidak, aku seperti pernah membaca berita ini di suatu tempat,” kataku.

“KW yang ditunjukkan di berita itu seperti namamu ya, Karen Winata.”

Kata-kata suamiku itu membuatku terdiam cukup panjang. Pikiranku sedang asik bermain puzzle di dalam otak, mengolah semua informasi yang ada.

Ah, ternyata begitu. Aku tahu siapa M2. Katie memintaku untuk membantunya atau menghentikannya. Jika aku membantunya, aku akan selamanya berada di sana, dan hidup bersamanya. Tetapi jika aku menyelesaikannya, aku akan kembali ke gambar waktu asalku. Berarti, itu alasannya aku terlempar kembali ke sini, saat dimana kedua kakiku menginjak Scotland Yard, karena aku sudah menangkap kedua pembunuhnya.

Lagi-lagi aku terdiam.

Ah, benar kata Mr. Smith. Aku kan tidak pernah membunuh, berarti aku bukan pembunuh kedua.

Aku belum cerita apa-apa ke suamiku. Tetapi ini pengalaman yang sangat seru dan mendebarkan. Semoga suamiku membaca tulisan ini dan mengetahui apa yang kualami selama sepuluh menit aku pingsan dan berjalan-jalan di masa lalu.

--

--